Dulunya, Mario Kart bukan cuma permainan. Di tahun 2003, Nintendo GameCube itu selalu ada di setiap pertemuan kami. Entah di rumah teman, acara bareng, atau bahkan saat kita mau ngerjain proyek band. Selalu aja momen di mana GameCube dinyalakan. Bahkan saya sampai beli tas carry khusus biar bisa bawa konsol plus beberapa controller ke mana-mana.
Banyak kenangan dibentuk waktu itu. Sambil balapan di Rainbow Road atau bertarung di dalam labirin Castle Hyrule, kita ngobrol tentang masa depan, sekolah, sampai masalah sehari-hari. Setiap sesi main game kayak gitu seperti ritual berkumpul nggak cuma sekadar menang atau kalah, lebih dari itu. Main bareng adalah cara untuk menyambung tali silaturahmi.
Sekarang, pasca perilisan Mario Kart World dan hadirnya Nintendo Switch 2, saya sempat berharap momen itu akan datang lagi. Tapi ternyata, lain zaman, lain cerita. Walaupun grafiknya lebih bagus dan bisa main sampai 24 pemain online, banyak malam saya lalui sendirian, main sambil leyeh-leyeh di sofa setelah kerja. Paling cuma sesekali main online pakai room code dari grup medsos, tapi rasanya beda.
Kehidupan usia 30-an memang berbeda. Teman-teman udah punya keluarga masing-masing, pekerjaan yang padat, dan agenda rapat yang susah disesuaikan. Ketika akhirnya ketemu, kita ngumpul karena sudah direncanakan dari jauh-jauh hari. Ngga bisa spontan bawa console ke rumah teman lalu langsung semua berkumpul begitu lihat layar TV.
Lalu datang ide untuk membawa Nintendo Switch 2 saat reuni musim panas kami ke Cape Cod. Kebetulan acara itu juga sekaligus ziarah ke makam sahabat baik yang telah tiada. Tanpa pikir panjang, saya masukkan konsol beserta docking station, controller tambahan, dan kamera Nintendo ke dalam ransel. Ini semacam ajakan simbolik untuk meluangkan ruang bagi kenangan lama.
Hasilnya cepat terlihat. Begitu tiba di penginapan, saya sebut soal Mario Kart World. Awalnya cuma demo teknologi untuk teman yang belum pernah sentuh Switch 2. Tapi dalam hitungan menit, semua berkumpul di depan TV. Berubahlah sesi itu jadi kompetisi lucu-lucuan. Ada yang rebutan high score, ada yang ekspresi heran pas pertama kali coba fitur kameranya. Di tengah itu, saya cerita tentang perubahan karier yang lagi dialami. Momen itu menjadi sarana curhat sekaligus tertawa.
Bahkan ketika bermain Mario Kart World, nuansa sosial itu kembali terasa. Betapa mudahnya hubungan di antara kami terjalin, meski hanya dari sesi game ringan. Bahkan kesedihan karena sahabat yang telah pergi tetap bisa diiringi oleh semacam kebahagiaan simpel, karena bisa bersama lagi.
Sebenernya, zaman sekarang masih gampang ko main game online dengan teman. Contohnya kayak main Destiny 2, tukaran Pokémon, atau lewat voice chat saat main game multiplayer. Tapi ngga semua situasi bisa digantikan. Momen ketika kita benar-benar berkumpul dalam satu ruangan dan main bareng? Itu ngga ada duanya. Bukan soal siapa yang menang atau kalah. Lebih ke ritual: bahwa kita saling meluangkan ruang dan waktu satu sama lain.
Jadi siapa peduli kalau jam sudah menunjukkan hampir tengah malam? Di depan TV, waktu kayak hilang. Pasti selalu ada alasan untuk sekali lagi sekali lagi balapan, sekali lagi tertawa, dan sekali lagi janji: 'lain kali main lagi ya'.
Artikel ini hasil dari generate AI dan telah dimoderasi oleh tim internal VIVA.co.id